Kerajaan Islam Malaka (1400 - 1511 M)
Pada tahun 1400 M,
Parameswara, seorang bangsawan dari Kerajaan Tumasik yang melarikan diri ke Semenanjung Malaka
karena kerajaannya diserang Majapahit pada tahun 1377 M, berhasil mendirikan Kerajaan Malaka. Berdirinya Kerajaan Malaka yang
didirikan oleh bangsawan Hindu itu, membuat prihatin Sultan Zaenal Abidin. Dia
tentu masih ingat saat Kerajaan Samudra Pasai diserang Majapahit, sehingga dia
dan ayah bundanya mengungsi ke luar kota. Saat itu Sultan Zaenal Abidin baru
berusia sekitar 10 tahun. Tetapi tentu saja dia sudah dapat
merekam peristiwa tersebut dengan baik.
Kebetulan pada awal
abad ke -15 M, di Pasai tiba dua orang ulama dari
Maroko dan Jeddah. Ulama yang datang dari Maroko adalah Maulana Malik
Ibrahim, sedangkan yang datang dari Jeddah adalah Syekh Abdul Azis.
Kedua-duanya bermaksud berdakwah ke
wilayah Asia Tenggara.
Tentu saja
kehadiran dua ulama itu amat menggembirakan Sultan Zaenal Abidin dan putranya
yang sudah berusia 35 tahun, Syekh Jumadilkubro. Terjadi diskusi di antara Sultan Zaenal Abidin, putranya Syekh
Jumadilkubro, kedua tamunya Syekh Malik
Ibrahim dan Syekh Abdul Aziz. Malik Ibrahim diperkirakan lahir tahun 1360 M,
hingga sepuluh tahun lebih tua dari Jumadilkubro.
Saat itulah rupanya
mulai terbentuk semacam forum diskusi para ulama dengan anggota yang amat
terbatas di antara mereka dengan pimpinan Sultan Zaenal Abidin yang usianya
sudah di atas lima puluhan tahun. Mereka sepakat untuk melancarkan dakwah Islam
terhadap raja-raja kerajaan Hindu yang mengepung Samudra Pasai. Khususnya
kerajaan-kerajaan Hindu di Jawa seperti
Majapahit di Jawa Timur dan Pajajaran di Jawa Barat, serta sejumlah
wilayah di Semenanjung Malaka dan Indo China yang merupakan daerah vasal
Majapahit seperti Pahang, Patani, Campa dan wilayah
di Semenanjung Malaka yang ada di bawah kekuasan Kerajaan Buddha Siam, seperti Malaka dan Kedah.
Dakwah kepada Raja
Majapahit di Jawa Timur diserahkan pada Syekh Maulana Malik Ibrahim.
Sedangkan dakwah ke wilayah yang
merupakan vasal Majapahit, yakni Pahang, Patani dan Campa diserahkan kepada Syekh Jumadilkubro. Sedangkan Syekh Abdul
Azis kebagian wilayah Malaka dan Kedah yang merupakan wilayah Kerajaan Siam.
Tetapi program
untuk mengirimkan para dai dan mubaligh ke wilayah strategis dari kerajaan-kerajaan Hindu itu, belum sempat
terlaksana pada masa Sultan Zaenal Abidin, karena Sultan Zaenal Abidin keburu wafat (1405 M).
Namun begitu program proses Islamisasi yang
pernah digagas oleh Sultan Zaenal Abidin itu, tetap diteruskan dibawah kendali
putranya, Syekh Jumadilkubro. Apalagi, setelah
Sultan Zaenal Abidin wafat (1405 M), yang naik tahta Kerajaan Islam
Pasai adalah kakak perempuan Jumadilkubro, Sultanah Bahiah. Jumadilkubro diangkat sebagai kadi, membantu kakak
perempuannya itu. Dengan demikian posisi Syekh Jumadilkubro memang cukup
strategis untuk dapat melancarkan dakwah Islam ke negar-negara tetangganya.
Rupanya pasca
penobatan Sultanah Bahiah sebagai Ratu Kerajaan Islam Samudra Pasai, Syekh Maulana Malik Ibrahim
segera meninggalkan Pasai dan bertolak ke Jawa. Malik Ibrahim tiba di
Gresik pada tahun 1405 M. Tetapi usaha Maulana Malik Ibrahim untuk mengislamkan Raja Majapahit
Wikramawardhana gagal, karena Sang Raja tidak bersedia memeluk Islam. Tetapi
Malik Ibrahim, berhasil membangun pesantren dan sukses pula memperbanyak pengikut Muslim, khususnya dari klas rakyat jelata.
Sebaliknya dengan
Jumadilkubro. Dia meraih sukses besar saat berdakwah di Patani dan Campa. Raja
Campa beserta keluarganya bersedia masuk Islam. Syekh Abdul Azis, juga berhasil
mengajak Parameswara masuk Islam dan memberinya gelar Sultan Muhammad Syah.
Bahkan akhirnya putra Sutan Muhammad Syah, Iskandar menikahi putri Pasai (1414
M), keponakan Jumadilkubro, anak kakaknya, Sultanah Bahiah.
Besar kemungkinan
pada tahun 1414 M itulah mulai terbentuk Dewan Walisana angkatan pertama, yang
anggotanya terdiri dari delapan orang ulama, yakni : Syekh Malik Ibrahim, Syekh
Jumadilkubro, Malik Israil, Syekh Abdul Azis, Syekh Muhammad Al Akbar, Syekh
Subakir, Maulana Ishak dan Makhdum Ibrahim Asmara. Dua yang
terakhir adalah anggota termuda Dewan Walisana Kerajaan Islam Pasai. Mereka
berdua adalah putra Syekh Jumadilkubro.
Pada tahun 1419 M,
Syekh Malik Ibrahim wafat di Gresik dan dimakamkan di sana, sehingga dia
dikenal sebagai Sunan Gresik. Untuk mengganti Malik Ibrahim, pada tahun 1420 M,
sejumlah
anggota Dewan Walisana yang berpusat di Pasai itu
berdatangan ke Pulau Jawa. Mereka itu antara lain adalah Syekh
Jumadilkubro yang hijrah ke Jawa Timur untuk meneruskan dakwah Malik Ibrahim yang
telah wafat pada usia 59 tahun. Saat tiba di Jawa Timur Syekh Jumadilkubro
telah berusia 50 tahun. Beliu wafat di Trowulan, diperkirakan
wafat pada tahun 1447 M. Kehadiran
Syekh Jumadilkubro di Trowulan pada akhir hayatnya menunjukan kedekatan Syekh Jumadilkubro dengan kalangan Istana
Kerajaan Majapahit, sebab Trowulan adalah tempat kedudukan Ibu Kota Kerajaan
Majapahit. Fakta ini juga memperkuat anggapan bahwa memang Syekh Jumadilkubro
adalah tokoh di belakang layar yang mengatur pernikahan Dyah Dwarawati dengan
Sri Kertawijaya pada tahun 1415 M.
Dalam buku Atlas Wali Songo tulisan Agus Sunyoto,
yang sangat kaya dengan sejarah makam
Wali Songo, dimuat foto sebuah makam
orang suci yang disebutkannya sebagai makam Syaikh Maulana Jumadilkubro di
Tralaya Mojokerto (Agus Sunyoto; 2012 : 71). Besar kemungkinan makam itu adalah benar makam dari
tokoh sejarah Syekh Jumadilkubro putra Sultan Zaenal Abidin (1383- 1405 M )
yang hijrah ke Jawa pada tahun 1420 M, karena anggota Dewan Walisana angkatan
pertama Syekh Malik Ibrahim wafat di Gresik pada tahun 1419 M.
Syekh Jumadilkubro jelas bukan putra Imam Zaenal
Abidin cicit Nabi saw, karena cicit Nabi saw itu, telah wafat pada permulaan
abad ke -8 M, sedang Syekh Jumadilkubro
hidup pada akhir abad ke- 14 M dan paruh pertama abad ke-15 M. Jadi terbentang
jarak waktu sekitar tujuh abad antara
masa hidup Syekh Jumadilkubro dengan masa hidup Imam Zaenal Abidin
putra Imam Husein, cucu Nabi saw.
Pada tahun 1420 M
itu juga, sejumlah ulama Pasai seperti Syekh Datuk Kahfi, Syekh Abdurahman dan adiknya Syekh Abdurahim
dan Syekh Baghdad, tiba di Cirebon. Di situ Syekh Datuk Kahfi dan kawan-kawannya berhasil
membangun sebuah pesantren yang dikenal sebagai Pesantren Syekh Datuk Kahfi.
Agaknya inilah pesantern yang pertama didirikan di Cirebon dan Jawa Barat.
Akibat dari
banyaknya ulama-ulama dari Pasai yang berdatangan ke Pulau Jawa itu, anggota
Dewan Walisana yang tinggal di Pasai hanyalah
Syekh Maulana Ishak yang menggantikan kedudukan ayahnya yang pergi ke
Jawa.
Syekh Subakir, anggota Dewan Walisana angkatan
pertama itu, kembali ke Persia, sebab dia berasal dari sana. Sedang Syekh Abdul
Azis yang berasal dari Jeddah, tetap menetap di Malaka dan berhasil mendampingi
Sultan Malaka membawa Kerajaan Malaka mencapai puncak kejayannya sepanjang abad ke-15 M.
Pada masa
kepemimpinan Sunan Ampel, Dewan Walisana direorganisasi kembali, hingga
terbentuk Dewan Walisana Angkatan ke dua. Jumlah anggota Dewan Walisana
Angkatan ke dua ini juga hanya berjumlah
delapan orang, bukan sembilan orang. Karena, menurut Drs. Widji Saksono, kata
sana itu asalnya berasal dari bahasa Arab tsana yang berarti mulia. Jadi Dewan
Walisana artinya adalah Dewan Wali yang mulia. Itulah sebabnya buku yang
dikarang oleh Sunan Giri Prapen, judulnya bukan Walisongo, tetapi
judul bukunya itu adalah Walisana.Yang mengandung arti delapan orang
wali yang mulia, bukan sembilan orang wali. Tetapi seiring dengan perjalanan
waktu yang semakin jauh dari masa hidup para wali anggota Dewan Walisana itu,
istilah Walisana lenyap dan yang muncul adalah istilah Walisongo.
Karena istilah
Walisongo sudah amat populer, maka istilah inilah yang dipakai dalam buku ini
untuk menyebut forum diskusi para ulama perintis dakwah Islam di Pulau Jawa.
Seperti telah
disebutkan di atas, Kerajaan Islam Malaka didirikan oleh Parameswara, seorang
bekas Penguasa Tumasik yang melarikan diri, karena Tumasik diserang oleh Kerajaan
Majapahit pada tahun 1377 M. Pada tahun 1405 M, Parameswara memeluk Islam dan
mengganti namanya menjadi Sultan Muhammad Syah. Berturut-turut Sultan-Sultan
Kerajaan Islam Malaka adalah sbb : (1) Sultan Muhammad Syah (1400 -1414 M), (2)Sultan Iskandar Syah (1414 – 1424 M, (3)
Sultan Muzzafar Syah (1424 – 1459 M), (4)
Sultan Mansyur Syah (1459 – 1477 M), (5)
Sultan Ala’uddin Ri’ayat Syah ( 1477 – 1488 M) dan (6)
Sultan Mahmud Syah ( 1488 -1511 M).
Tome Pires dalam
bukunya Suma Oriental menulis proses masuknya penguasa Malaka menjadi pemeluk
Islam karena pengaruh ulam-ulama dan penguasa Pasai. Pengelana dan Penulis
Portugal itu menulis sbb :
“Malaka mengirim
dutanya ke Majapahit untuk merayu Raja Jawa agar pedagang-pedagang Jawa mau
melakukan kegiatan perdagangannya di Bandar Malaka. Raja Jawa mengemukakan
kepada utusan Malaka itu bahwa jung-jungnya telah lama sekali berlayar ke Pasai
untuk berniaga dan ia mempunyai perhubungan yang erat dengan Pasai. Di
Pelabuhan Pasai pedagang-pedagang Jawa
memperoleh kedudukan istimewa dalam bentuk pembebasan dari keharusan membayar
cukai impor serta ekspor, dan
juga mereka dengan mudah dapat memperoleh
barang dagangan yang baik dan menguntungkan. Raja Majapahit menetapkan
bahwa meskipun Raja Pasai menjadi
vasal Majapahit, tetapi penentuan kebijaksanaannya dalam bidang perdagangan diserahkan
sepenuhnya kepada Raja Pasai
sendiri. Sang Raja Wikramawardhana sendiri tidak berminat untuk menghapuskan kebiasaan yang telah lama ada dan telah
disepakati sejak lama antara kedua kerajaan itu.
“Setelah dutanya
kembali ke Malaka, Raja Malaka mengirimkan pesan kepada Raja Pasai,
mengharapkan kebaikannya agar menyetujui dan tidak berkecil hati jika Jawa
berhubungan dagang dengan Malaka. Dia juga memohon kebaikan Raja Pasai agar
suka mengirimkan
pedagang-pedagangnya beserta barang dagangannya ke Malaka. Raja Malaka juga
menyampaikan bahwa ia telah mendapat jawaban dari Raja Majapahit bahwa jika Raja Pasai setuju, Raja Majapahit akan
berbesar hati.
(Batu nisan makam raja-raja Pasai)
(Batu nisan makam raja-raja Pasai)
“Raja Pasai kemudian mengirimkan utusannya ke Malaka
untuk menyampaikan pesan bahwa Pasai tidak akan keberatan memenuhi permintaan
Raja Malaka apabila Raja Malaka tersebut bersedia memeluk agama Islam. Akhirnya
Raja Malaka beserta segenap rakyatnya beriman akan Allah dan Rasul Nya dan sesudah
itu banyak sekali pedagang Islam dari Pasai, pindah berdagang ke Malaka,
terutama bangsa Arab, Parsi dan Bengal.” (Teuku Ibrahim Alfian; 1999:40).
Dari tulisan Tome
Pires itu, kita memperoleh gambaran hubungan yang erat antara Majapahit dan
Pasai, sekalipun Pasai adalah vasal Majapahit. Respon Majapahit terhadap Malaka
juga baik, sekalipun Parameswara, Raja Malaka itu, bekas penguasa Tumasik yang
merupakan vasal Majapahit yang melarikan diri ke tanah Semenanjung Malaka. Hal
ini disebabkan Malaka memang bukan wilayah Majapahit, tetapi merupakan wilayah
Kerajaan Siam.
Rivalitas antara Majapahit dan Kerajaan Siam membuat Semenanjung Malaka saat
itu terbelah menjadi dua. Pantai Timur Semenanjung dari Pahang, Patani dan Campa masuk wilayah Majapahit. Sedang Pantai
Barat Semenanjung, seperti Malaka dan Kedah, masuk wilayah Kerajaan Siam.
Peristiwa yang
dilukiskan Tome Pires itu, terjadi pada tahun 1405 M. Saat itu Raja Majapahit
adalah Wikramawardhana (1389 -1429 M), yang sebenarnya sedang direpotkan dengan
perang melawan iparnya sendiri Wirabumi yang hendak melepaskan diri dari
Kerajaan Majapahit. Sedangkan Raja Pasai adalah Sultan Zaenal Abidin (1383
-1405 M).
Ulama yang berjasa
mengislamkan Raja Malaka Parameswara beserta seluruh rakyat Malaka adalah ulama
asal Jeddah Syekh Abdul Azis dan ulama
Pasai putra Zaenal Abidin, Syekh Jumadilkubro. Setelah masuk Islam,
Parameswara memperoleh gelar Sultan Muhammad Syah.
Sejak Malaka
memproklamirkan diri menjadi Kerajaan Islam, prestasinya terus menanjak dan
mencapai puncak kemasyhurannya di Asia Tenggara sejak dasa warsa awal abad
ke-15 M sampai di penghujung abad. Bahkan
kemajuan Kerajaan Islam Malaka telah mendorong lahirnya Kerajaan Islam
Demak (1481 – 1546 M) di Jawa dan Kerajaan Islam Aceh (1500 -1912 M) di ujung
paling utara Pulau Sumatra. Sayangnya Sultan Mahmud Syah (1488-1511 M), merupakan penguasa yang lemah, hingga ketika mendapat
serbuan Portugal pada tahun 1511 M, Kerajaan Islam Malaka yang berusia satu
abad lebih sedikit itu, langsung bertekuk lutut. Sejak itu, tamatlah riwayat
Kerajaan Islam Malaka dan sejak itu dimulailah usaha penjajahan oleh
orang-orang kulit putih ke wilayah-wilayah lainnya di Kepulauan Nusantara.
Kerajaan Islam Demak (1481- 1546 M)
Di Pulau Jawa
Kerajaan Islam Demak merupakan kerajaan Islam yang pertama dan merupakan proyek
politik dari Dewan Walisongo, yang terdiri dari Sunan Ampel, Sunan Bonang,
Sunan Giri, Sunan Drajat, Sunan Gunungjati, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus dan
Sunan Muria.
Kerajaan Islam
Demak didirikan oleh Raden Patah dan berturut- turut dipimpin oleh
para raja sebagai berikut :
(1) Raden Patah ( 1481 – 1518 M), (2)
Pati Unus ( 1518 – 1521 M), (3) Sultan Trenggono ( 1521 – 1546 M) dan (4) Sunan Prawoto
(1546 -1549 M). Kerajaan
Islam Demak merupakan kerajaan maritim terbesar dan terkuat di Pulau Jawa
setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit.
Basis wilayah
utamanya adalah kota-kota pelabuhan sepanjang pesisir Pantai Utara Pulau Jawa. Wilayah luar Jawa yang
masuk Karajaan Islam Demak adalah Sukadana di Kalimantan Barat dan Palembang.
Praktis pada masa Demak, Laut
Jawa berada di bawah kontrol Kerajaan Islam Demak.
Dalam usianya
yang relatif muda pada tahun 1513 M, Demak berani menantang duel dalam perang
laut melawan Portugal. Di bawah Laksamana Angkatan Laut Kerajaan Islam Demak,
Pati Unus, menantu Sultan Demak Raden Patah, maka ditantangnya Portugal dalam
duel perang laut untuk merebut kembali Bandar Malaka.
Serangan Demak terhadap Portugal di Malaka adalah
dalam rangka solidaritas membantu Kerajaan Islam Malaka merebut kembali Bandar Malaka. Hal ini karena pada tahun
1511 M, Portugal berhasil menduduki Bandar
Malaka dan menaklukan Kerajaan Islam
Malaka.
Kerajaan Islam Malaka dengan Bandar Malakanya yang ramai pada awalnya
merupakan mitra dagang dari Kerajaan Islam Demak. Beras dari pulau Jawa dan
komoditas hasil pertanian lainnya banyak
yang dipasarkan oleh para pedagang
Muslim ke Bandar Malaka. Karena itu dengan jatuhnya
Bandar Malaka ke tangan Portugal, Demak
bukan hanya kehilangan mitra dagangnya yang penting, tetapi juga kehilangan
pasar bagi produk-produk agraria yang merupakan produk unggulan Kerajaan Islam
Demak .
Usaha untuk mengembalikan kedaulatan Kerajaan Islam
Malaka itu menemui kegagalan. Penyebabnya antara lain, teknologi pembuatan
kapal armada angkatan laut Kerajaan
Islam Demak, kalah canggih dengan teknologi pembuatan kapal angkatan laut
Portugal. Bobot atau tonase kapal-kapal angkatan laut Demak hanya sepertiga
dari tonase kapal angkatan laut
Portugal. Akibatnya dalam pertempuran laut, kapal-kapal perang Demak dengan
mudah dijadikan bulan-bulanan kapal perang Portugal.
Tonase yang kecil mengakibatkan pula kapal perang
Demak kurang stabil saat mengoperasikan
senjata berat seperti meriam yang dibawanya. Peluru-peluru meriam angkatan
laut Demak sering tidak mengenai
sasaran. Hal yang sebaliknya terjadi pada kapal perang Portugal yang lebih
akurat melakukan serangan balik terhadap kapal-kapal perang Demak.
Walaupun akhirnya Demak kalah dalam perang laut
melawan Portugal dan Bandar
Malaka gagal direbut, Portugal tetap memuji dan mengagumi kehebatan
prajurit-prajurit Islam Demak yang bertempur gagah berani di tengah lautan.
Dan angkatan laut Portugal tetap saja
mengalami kesulitan untuk melakukan penetrasi ke Laut Jawa. Bahkan pada
akhirnya Kerajaan Islam Demak berhasil menutup seluruh jalan masuk ke Pantai Utara Pulau Jawa bagi angkatan laut
Portugal.
Pada tahun
1527 M, Pelabuhan Sunda Kalapa yang merupakan satu-satunya bandar pelabuhan
Kerajaan Hindu Pakuan Pajajaran berhasil direbut tentara Islam Demak. Demikian
pula pada tahun yang sama, Pelabuhan Tuban dan Kota Tuban jatuh ke tangan Demak.
Sebelumnya Tuban adalah kota dan bandar pelabuhan dari Kerajaan Hindu Buddha
Kediri Majapahit. Bahkan kelak dua kerajaan di pedalaman pulau Jawa yang
merupakan sekutu utama Portugal itu
berhasil ditaklukkan Kerajaan Islam Demak dan Kerajaan Islam Banten.
Sayangnya Kerajaan Islam Demak hanya berusia pendek.
Tidak sempat mencapai
satu abad. Berdiri pada tahun 1481 M, dan pada tahun 1546 M Sultan Trengono dibunuh oleh pembantu setianya. Padahal saat itu Demak
tengah berada di puncak kemasyhurannya. Sepeninggal Sultan Trenggono, terjadilah
konflik perebutan tahta Kerajaan Islam Demak antara Adipati Jipang Haryo Penangsang melawan Adipati Pajang
Hadiwijoyo. Kerajaan Pajang keluar
sebagai
pemenang.
Syekh Nurullah Gunungjati penguasa Banten dan Cirebon, melepaskan diri dari Kerajaan Islam Demak yang
tengah sibuk dalam sengketa perebutan tahta. Syekh Nurullah menyatakan Kerajaan
Islam Banten dan Cirebon di Jawa Barat sebagai kerajaan yang mandiri dan
berdaulat. Syekh Nurullah atau Fatahillah pendiri Kerajaan Islam Banten dan
Cirebon adalah menantu Raden Patah,
karena Syekh Nurullah menikah dengan adik Sultan Trenggono, yang berarti putri
Raden Patah. Syekh Nurullah yang dalam tradisi Jawa dikenal dengan nama
Fatahillah, Syarif Hidayatullah dan Sunan Gunungjati itu, kelak menurunkan
raja-raja Banten dan Cirebon. Sedang Sultan Hadiwijoyo pendiri Kerajaan Pajang
adalah menantu Sultan Trenggono.
Tetapi perkembangan Kerajaan Pajang juga singkat.
Karena Pajang segera digantikan oleh Kerajaan Mataram di pedalaman Jawa Tengah.
Sejak munculnya Kerajaan Pajang yang kemudian digantikan Mataram, maka Kerajaan
Islam Demak yang berbasis keunggulan maritim dan taat pada Syariat Islam itu digantikan dengan kerajaan yang berbasis keunggulan
agraris dan kurang taat pada Syariat Islam.
Dalam kehidupan kebudayaan dan keagamaan, ajaran
Hindu Buddha masih mewarnai corak ritualitas keagamaan kerajaan Pajang dan Mataram, sekalipun masih dalam
bingkai Islam. Para ahli Islam Belanda yakni para Orientalis sering menyebut
bahwa corak Keislaman Kerajaan Pajang, Mataram dan kerajaan-kerajaan penerusnya
kelak adalah Islam Sinkretik, yakni corak Islam yang masih tebal
dipengaruhi kepercayaan Hindu dan
Buddha. Tetapi bagi para sarjana Muslim, Islam Sinkretik atau yang kemudian
lebih dikenal sebagai Islam Kejawen, adalah suatu corak Islam yang masih terus berproses menuju corak Islam
yang lebih murni, seperti yang diajarkan oleh Rasulullah saw. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar