Selasa, 05 Januari 2016

Kerajaan Islam Malaka dan Demak, Pembentukan Dewan Walisongo (03)



Kerajaan Islam Malaka (1400 - 1511 M)
Pada tahun 1400 M, Parameswara, seorang bangsawan dari Kerajaan Tumasik  yang melarikan diri ke Semenanjung Malaka karena kerajaannya diserang Majapahit pada tahun 1377 M, berhasil mendirikan Kerajaan Malaka. Berdirinya Kerajaan Malaka yang didirikan oleh bangsawan Hindu itu, membuat prihatin Sultan Zaenal Abidin. Dia tentu masih ingat saat Kerajaan Samudra Pasai diserang Majapahit, sehingga dia dan ayah bundanya mengungsi ke luar kota. Saat itu Sultan Zaenal Abidin baru berusia sekitar 10 tahun. Tetapi tentu saja dia sudah  dapat merekam peristiwa tersebut dengan baik.
Kebetulan pada awal abad ke -15 M, di Pasai tiba  dua orang ulama  dari  Maroko dan Jeddah. Ulama yang datang dari Maroko adalah Maulana Malik Ibrahim, sedangkan yang datang dari Jeddah adalah Syekh Abdul Azis. Kedua-duanya bermaksud  berdakwah ke wilayah Asia Tenggara.
Tentu saja kehadiran dua ulama itu amat menggembirakan Sultan Zaenal Abidin dan putranya yang sudah berusia 35 tahun, Syekh Jumadilkubro. Terjadi diskusi di antara  Sultan Zaenal Abidin, putranya Syekh Jumadilkubro, kedua tamunya  Syekh Malik Ibrahim dan Syekh Abdul Aziz. Malik Ibrahim diperkirakan lahir tahun 1360 M, hingga sepuluh tahun lebih tua dari Jumadilkubro. 
Saat itulah rupanya mulai terbentuk semacam forum diskusi para ulama dengan anggota yang amat terbatas di antara mereka dengan pimpinan Sultan Zaenal Abidin yang usianya sudah di atas lima puluhan tahun. Mereka sepakat untuk melancarkan dakwah Islam terhadap raja-raja kerajaan Hindu yang mengepung Samudra Pasai. Khususnya kerajaan-kerajaan Hindu di Jawa seperti  Majapahit  di Jawa Timur dan   Pajajaran di Jawa Barat, serta sejumlah wilayah di Semenanjung Malaka dan Indo China yang merupakan daerah vasal Majapahit seperti Pahang, Patani, Campa dan  wilayah di Semenanjung Malaka yang ada di bawah kekuasan Kerajaan Buddha Siam, seperti Malaka dan Kedah.  
Dakwah kepada Raja Majapahit di Jawa Timur diserahkan pada Syekh Maulana Malik Ibrahim.  Sedangkan dakwah ke wilayah  yang merupakan vasal Majapahit, yakni Pahang, Patani dan Campa  diserahkan kepada  Syekh Jumadilkubro. Sedangkan Syekh Abdul Azis kebagian wilayah Malaka dan Kedah yang merupakan wilayah Kerajaan Siam.
Tetapi program untuk mengirimkan para dai dan mubaligh ke wilayah strategis dari kerajaan-kerajaan Hindu itu, belum sempat terlaksana pada masa Sultan Zaenal Abidin, karena Sultan  Zaenal Abidin keburu wafat (1405 M).
 Namun begitu program proses Islamisasi yang pernah digagas oleh Sultan Zaenal Abidin itu, tetap diteruskan dibawah kendali putranya, Syekh Jumadilkubro. Apalagi, setelah  Sultan Zaenal Abidin wafat (1405 M), yang naik tahta Kerajaan Islam Pasai adalah kakak perempuan Jumadilkubro, Sultanah Bahiah. Jumadilkubro  diangkat sebagai kadi, membantu kakak perempuannya itu. Dengan demikian posisi Syekh Jumadilkubro memang cukup strategis untuk dapat melancarkan dakwah Islam ke negar-negara tetangganya.
Rupanya pasca penobatan Sultanah Bahiah sebagai Ratu Kerajaan Islam Samudra Pasai,  Syekh Maulana Malik Ibrahim  segera meninggalkan Pasai dan bertolak ke Jawa. Malik Ibrahim tiba di Gresik pada tahun 1405 M. Tetapi usaha Maulana Malik Ibrahim untuk mengislamkan Raja Majapahit Wikramawardhana gagal, karena Sang Raja tidak bersedia memeluk Islam. Tetapi Malik Ibrahim, berhasil membangun pesantren dan sukses pula memperbanyak   pengikut Muslim, khususnya dari klas rakyat jelata.
Sebaliknya dengan Jumadilkubro. Dia meraih sukses besar saat berdakwah di Patani dan Campa. Raja Campa beserta keluarganya bersedia masuk Islam. Syekh Abdul Azis, juga berhasil mengajak Parameswara masuk Islam dan memberinya gelar Sultan Muhammad Syah. Bahkan akhirnya putra Sutan Muhammad Syah, Iskandar menikahi putri Pasai (1414 M), keponakan Jumadilkubro, anak kakaknya, Sultanah Bahiah. 
Besar kemungkinan pada tahun 1414 M itulah mulai terbentuk Dewan Walisana angkatan pertama, yang anggotanya terdiri dari delapan orang ulama, yakni : Syekh Malik Ibrahim, Syekh Jumadilkubro, Malik Israil, Syekh Abdul Azis, Syekh Muhammad Al Akbar, Syekh Subakir, Maulana Ishak dan Makhdum Ibrahim Asmara.  Dua yang terakhir adalah anggota termuda Dewan Walisana Kerajaan Islam Pasai. Mereka berdua adalah putra Syekh Jumadilkubro.
Pada tahun 1419 M, Syekh Malik Ibrahim wafat di Gresik dan dimakamkan di sana, sehingga dia dikenal sebagai Sunan Gresik. Untuk mengganti Malik Ibrahim, pada tahun 1420 M, sejumlah anggota Dewan Walisana yang berpusat di Pasai itu berdatangan ke Pulau Jawa. Mereka itu antara lain  adalah Syekh Jumadilkubro yang hijrah ke Jawa Timur untuk meneruskan dakwah Malik Ibrahim yang telah wafat pada usia 59 tahun. Saat tiba di Jawa Timur Syekh Jumadilkubro telah berusia 50 tahun. Beliu wafat di Trowulan, diperkirakan wafat pada tahun 1447 M. Kehadiran Syekh Jumadilkubro di Trowulan pada akhir hayatnya menunjukan kedekatan Syekh Jumadilkubro dengan kalangan Istana Kerajaan Majapahit, sebab Trowulan adalah tempat kedudukan Ibu Kota Kerajaan Majapahit. Fakta ini juga memperkuat anggapan bahwa memang Syekh Jumadilkubro adalah tokoh di belakang layar yang mengatur pernikahan Dyah Dwarawati dengan Sri Kertawijaya pada tahun 1415 M. 
Dalam buku Atlas Wali Songo tulisan Agus Sunyoto, yang sangat kaya dengan sejarah  makam Wali Songo,  dimuat foto sebuah makam orang suci yang disebutkannya sebagai makam Syaikh Maulana Jumadilkubro di Tralaya Mojokerto (Agus Sunyoto; 2012 : 71). Besar  kemungkinan makam itu adalah benar makam dari tokoh sejarah Syekh Jumadilkubro putra Sultan Zaenal Abidin (1383- 1405 M ) yang hijrah ke Jawa pada tahun 1420 M, karena anggota Dewan Walisana angkatan pertama Syekh Malik Ibrahim wafat di Gresik pada tahun 1419 M.
Syekh Jumadilkubro jelas bukan putra Imam Zaenal Abidin cicit Nabi saw, karena cicit Nabi saw itu, telah wafat pada permulaan abad ke -8 M, sedang  Syekh Jumadilkubro hidup pada akhir abad ke- 14 M dan paruh pertama abad ke-15 M. Jadi terbentang jarak waktu sekitar tujuh  abad antara masa hidup Syekh Jumadilkubro dengan masa hidup Imam Zaenal  Abidin  putra Imam Husein, cucu Nabi saw.
Pada tahun 1420 M itu juga, sejumlah ulama Pasai seperti Syekh Datuk Kahfi,  Syekh Abdurahman dan adiknya Syekh Abdurahim dan Syekh Baghdad, tiba di Cirebon. Di situ Syekh Datuk Kahfi dan kawan-kawannya berhasil membangun sebuah pesantren yang dikenal sebagai Pesantren Syekh Datuk Kahfi. Agaknya inilah pesantern yang pertama didirikan di Cirebon dan Jawa Barat.
Akibat dari banyaknya ulama-ulama dari Pasai yang berdatangan ke Pulau Jawa itu, anggota Dewan Walisana yang tinggal di Pasai hanyalah  Syekh Maulana Ishak yang menggantikan kedudukan ayahnya yang pergi ke Jawa.
 Syekh Subakir, anggota Dewan Walisana angkatan pertama itu, kembali ke Persia, sebab dia berasal dari sana. Sedang Syekh Abdul Azis yang berasal dari Jeddah, tetap menetap di Malaka dan berhasil mendampingi Sultan Malaka membawa Kerajaan Malaka mencapai puncak kejayannya sepanjang  abad ke-15 M.
Pada masa kepemimpinan Sunan Ampel, Dewan Walisana direorganisasi kembali, hingga terbentuk Dewan Walisana Angkatan ke dua. Jumlah anggota Dewan Walisana Angkatan ke dua ini juga  hanya berjumlah delapan orang, bukan sembilan orang. Karena, menurut Drs. Widji Saksono, kata sana itu asalnya berasal dari bahasa Arab tsana yang berarti mulia. Jadi Dewan Walisana artinya adalah Dewan Wali yang mulia. Itulah sebabnya buku yang dikarang oleh Sunan Giri Prapen, judulnya bukan Walisongo, tetapi judul bukunya itu adalah  Walisana.Yang mengandung arti delapan orang wali yang mulia, bukan sembilan orang wali. Tetapi seiring dengan perjalanan waktu yang semakin jauh dari masa hidup para wali anggota Dewan Walisana itu, istilah Walisana lenyap dan yang muncul adalah istilah Walisongo.
Karena istilah Walisongo sudah amat populer, maka istilah inilah yang dipakai dalam buku ini untuk menyebut forum diskusi para ulama perintis dakwah Islam di Pulau Jawa.
   Seperti telah disebutkan di atas, Kerajaan Islam Malaka didirikan oleh Parameswara, seorang bekas Penguasa Tumasik yang melarikan diri, karena Tumasik diserang oleh Kerajaan Majapahit pada tahun 1377 M. Pada tahun 1405 M, Parameswara memeluk Islam dan mengganti namanya menjadi Sultan Muhammad Syah. Berturut-turut Sultan-Sultan Kerajaan Islam Malaka adalah sbb : (1) Sultan Muhammad Syah (1400 -1414 M), (2)Sultan Iskandar Syah (1414 – 1424 M, (3) Sultan Muzzafar Syah (1424 – 1459 M), (4) Sultan Mansyur Syah (1459 – 1477 M), (5) Sultan Ala’uddin Ri’ayat Syah ( 1477 – 1488 M) dan (6) Sultan Mahmud Syah ( 1488 -1511 M).
Tome Pires dalam bukunya Suma Oriental menulis proses masuknya penguasa Malaka menjadi pemeluk Islam karena pengaruh ulam-ulama dan penguasa Pasai. Pengelana dan Penulis Portugal itu menulis sbb :
“Malaka mengirim dutanya ke Majapahit untuk merayu Raja Jawa agar pedagang-pedagang Jawa mau melakukan kegiatan perdagangannya di Bandar Malaka. Raja Jawa mengemukakan kepada utusan Malaka itu bahwa jung-jungnya telah lama sekali berlayar ke Pasai untuk berniaga dan ia mempunyai perhubungan yang erat dengan Pasai. Di Pelabuhan  Pasai pedagang-pedagang Jawa memperoleh kedudukan istimewa dalam bentuk pembebasan dari keharusan membayar cukai impor serta ekspor, dan juga mereka dengan mudah dapat memperoleh barang dagangan yang baik dan menguntungkan. Raja Majapahit menetapkan bahwa meskipun Raja Pasai menjadi vasal Majapahit, tetapi penentuan kebijaksanaannya dalam bidang perdagangan diserahkan sepenuhnya kepada Raja Pasai sendiri. Sang Raja Wikramawardhana sendiri tidak berminat untuk menghapuskan kebiasaan yang telah lama ada dan telah disepakati sejak lama antara kedua kerajaan itu.
“Setelah dutanya kembali ke Malaka, Raja Malaka mengirimkan pesan kepada Raja Pasai, mengharapkan kebaikannya agar menyetujui dan tidak berkecil hati jika Jawa berhubungan dagang dengan Malaka. Dia juga memohon kebaikan Raja Pasai agar suka mengirimkan pedagang-pedagangnya beserta barang dagangannya ke Malaka. Raja Malaka juga menyampaikan bahwa ia telah mendapat jawaban dari Raja Majapahit bahwa  jika Raja Pasai setuju, Raja Majapahit akan berbesar hati. 
(Batu nisan makam raja-raja Pasai)
“Raja Pasai  kemudian mengirimkan utusannya ke Malaka untuk menyampaikan pesan bahwa Pasai tidak akan keberatan memenuhi permintaan Raja Malaka apabila Raja Malaka tersebut bersedia memeluk agama Islam. Akhirnya Raja Malaka beserta segenap rakyatnya beriman akan Allah dan Rasul Nya dan sesudah itu banyak sekali pedagang Islam dari Pasai, pindah berdagang ke Malaka, terutama bangsa Arab, Parsi dan Bengal.” (Teuku Ibrahim Alfian; 1999:40).
Dari tulisan Tome Pires itu, kita memperoleh gambaran hubungan yang erat antara Majapahit dan Pasai, sekalipun Pasai adalah vasal Majapahit. Respon Majapahit terhadap Malaka juga baik, sekalipun Parameswara, Raja Malaka itu, bekas penguasa Tumasik yang merupakan vasal Majapahit yang melarikan diri ke tanah Semenanjung Malaka. Hal ini disebabkan Malaka memang bukan wilayah Majapahit, tetapi merupakan wilayah Kerajaan Siam. Rivalitas antara Majapahit dan Kerajaan Siam membuat Semenanjung Malaka saat itu terbelah menjadi dua. Pantai Timur Semenanjung dari Pahang, Patani  dan Campa masuk wilayah Majapahit. Sedang Pantai Barat Semenanjung, seperti Malaka dan Kedah, masuk wilayah Kerajaan Siam.      
Peristiwa yang dilukiskan Tome Pires itu, terjadi pada tahun 1405 M. Saat itu Raja Majapahit adalah Wikramawardhana (1389 -1429 M), yang sebenarnya sedang direpotkan dengan perang melawan iparnya sendiri Wirabumi yang hendak melepaskan diri dari Kerajaan Majapahit. Sedangkan Raja Pasai adalah Sultan Zaenal Abidin (1383 -1405 M).
Ulama yang berjasa mengislamkan Raja Malaka Parameswara beserta seluruh rakyat Malaka adalah ulama asal Jeddah Syekh Abdul Azis dan ulama  Pasai putra Zaenal Abidin, Syekh Jumadilkubro. Setelah masuk Islam, Parameswara memperoleh gelar Sultan Muhammad Syah.
Sejak Malaka memproklamirkan diri menjadi Kerajaan Islam, prestasinya terus menanjak dan mencapai puncak kemasyhurannya di Asia Tenggara sejak dasa warsa awal abad ke-15 M sampai di penghujung abad. Bahkan  kemajuan Kerajaan Islam Malaka telah mendorong lahirnya Kerajaan Islam Demak (1481 – 1546 M) di Jawa dan Kerajaan Islam Aceh (1500 -1912 M) di ujung paling utara Pulau Sumatra. Sayangnya Sultan Mahmud Syah (1488-1511 M), merupakan  penguasa yang lemah, hingga ketika mendapat serbuan Portugal pada tahun 1511 M, Kerajaan Islam Malaka yang berusia satu abad lebih sedikit itu, langsung bertekuk lutut. Sejak itu, tamatlah riwayat Kerajaan Islam Malaka dan sejak itu dimulailah usaha penjajahan oleh orang-orang kulit putih ke wilayah-wilayah lainnya di Kepulauan Nusantara.

 Kerajaan Islam Demak (1481- 1546 M)
Di Pulau Jawa Kerajaan Islam Demak merupakan kerajaan Islam yang pertama dan merupakan proyek politik dari Dewan Walisongo, yang terdiri dari Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Drajat, Sunan Gunungjati, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus dan Sunan Muria.
Kerajaan Islam Demak didirikan oleh Raden Patah dan berturut- turut dipimpin oleh para raja sebagai berikut :
 (1) Raden Patah ( 1481 – 1518 M), (2) Pati Unus ( 1518 – 1521 M), (3) Sultan Trenggono ( 1521 – 1546 M) dan (4) Sunan Prawoto (1546 -1549 M). Kerajaan Islam Demak merupakan kerajaan maritim terbesar dan terkuat di Pulau Jawa setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit.
 Basis wilayah utamanya adalah kota-kota pelabuhan sepanjang pesisir Pantai Utara Pulau Jawa. Wilayah luar Jawa yang masuk Karajaan Islam Demak adalah Sukadana di Kalimantan Barat dan Palembang. Praktis pada masa Demak, Laut Jawa berada di bawah kontrol Kerajaan Islam Demak.
Dalam usianya yang relatif muda pada tahun 1513 M, Demak berani menantang duel dalam perang laut melawan Portugal. Di bawah Laksamana Angkatan Laut Kerajaan Islam Demak, Pati Unus, menantu Sultan Demak Raden Patah, maka ditantangnya Portugal dalam duel perang laut  untuk merebut kembali Bandar Malaka.
Serangan Demak terhadap Portugal di Malaka adalah dalam rangka solidaritas membantu Kerajaan Islam Malaka merebut kembali Bandar Malaka. Hal ini karena pada tahun 1511 M, Portugal berhasil menduduki Bandar Malaka dan menaklukan  Kerajaan Islam Malaka.
Kerajaan Islam Malaka dengan Bandar Malakanya yang ramai pada awalnya merupakan mitra dagang dari Kerajaan Islam Demak. Beras dari pulau Jawa dan komoditas hasil pertanian lainnya  banyak yang  dipasarkan oleh para pedagang Muslim  ke Bandar Malaka. Karena itu dengan jatuhnya Bandar Malaka ke tangan Portugal, Demak bukan hanya kehilangan mitra dagangnya yang penting, tetapi juga kehilangan pasar bagi produk-produk agraria yang merupakan produk unggulan Kerajaan Islam Demak .
Usaha untuk mengembalikan kedaulatan Kerajaan Islam Malaka itu menemui kegagalan. Penyebabnya antara lain, teknologi pembuatan kapal armada  angkatan laut Kerajaan Islam Demak, kalah canggih dengan teknologi pembuatan kapal angkatan laut Portugal. Bobot atau tonase kapal-kapal angkatan laut Demak hanya sepertiga dari tonase kapal  angkatan laut Portugal. Akibatnya dalam pertempuran laut, kapal-kapal perang Demak dengan mudah dijadikan bulan-bulanan kapal perang Portugal.
Tonase yang kecil mengakibatkan pula kapal perang Demak kurang stabil  saat mengoperasikan senjata berat seperti meriam yang dibawanya. Peluru-peluru meriam angkatan laut  Demak sering tidak mengenai sasaran. Hal yang sebaliknya terjadi pada kapal perang Portugal yang lebih akurat melakukan serangan balik terhadap kapal-kapal perang Demak.
Walaupun akhirnya Demak kalah dalam perang laut melawan Portugal dan Bandar Malaka gagal direbut, Portugal tetap memuji dan mengagumi kehebatan prajurit-prajurit Islam Demak yang bertempur gagah berani di tengah lautan. Dan  angkatan laut Portugal tetap saja mengalami kesulitan untuk melakukan penetrasi ke Laut Jawa. Bahkan pada akhirnya Kerajaan Islam Demak berhasil menutup seluruh jalan masuk ke Pantai Utara Pulau Jawa bagi angkatan laut Portugal.
 Pada tahun 1527 M, Pelabuhan Sunda Kalapa yang merupakan satu-satunya bandar pelabuhan Kerajaan Hindu Pakuan Pajajaran berhasil direbut tentara Islam Demak. Demikian pula pada tahun yang sama,  Pelabuhan Tuban dan Kota Tuban jatuh ke tangan Demak. Sebelumnya Tuban adalah kota dan bandar pelabuhan dari Kerajaan Hindu Buddha Kediri Majapahit. Bahkan kelak dua kerajaan di pedalaman pulau Jawa yang merupakan sekutu utama Portugal itu  berhasil ditaklukkan Kerajaan Islam Demak dan Kerajaan Islam Banten.
Sayangnya Kerajaan Islam Demak hanya berusia pendek. Tidak sempat mencapai satu abad. Berdiri pada tahun 1481 M, dan pada tahun 1546 M Sultan Trengono dibunuh oleh pembantu setianya. Padahal saat itu Demak tengah berada di puncak kemasyhurannya. Sepeninggal Sultan Trenggono, terjadilah konflik perebutan tahta Kerajaan Islam Demak antara Adipati Jipang Haryo Penangsang melawan Adipati Pajang Hadiwijoyo. Kerajaan Pajang  keluar sebagai pemenang.
Syekh Nurullah Gunungjati penguasa Banten dan Cirebon,  melepaskan diri dari Kerajaan Islam Demak yang tengah sibuk dalam sengketa perebutan tahta. Syekh Nurullah menyatakan Kerajaan Islam Banten dan Cirebon di Jawa Barat sebagai kerajaan yang mandiri dan berdaulat. Syekh Nurullah atau Fatahillah pendiri Kerajaan Islam Banten dan Cirebon  adalah menantu Raden Patah, karena Syekh Nurullah menikah dengan adik Sultan Trenggono, yang berarti putri Raden Patah. Syekh Nurullah yang dalam tradisi Jawa dikenal dengan nama Fatahillah, Syarif Hidayatullah dan Sunan Gunungjati itu, kelak menurunkan raja-raja Banten dan Cirebon. Sedang Sultan Hadiwijoyo pendiri Kerajaan Pajang adalah menantu Sultan Trenggono.
Tetapi perkembangan Kerajaan Pajang juga singkat. Karena Pajang segera digantikan oleh Kerajaan Mataram di pedalaman Jawa Tengah. Sejak munculnya Kerajaan Pajang yang kemudian digantikan Mataram, maka Kerajaan Islam Demak yang berbasis keunggulan maritim dan taat pada  Syariat Islam itu digantikan  dengan kerajaan yang berbasis keunggulan agraris dan kurang taat pada Syariat Islam.
Dalam kehidupan kebudayaan dan keagamaan, ajaran Hindu Buddha masih mewarnai  corak  ritualitas keagamaan kerajaan Pajang dan Mataram, sekalipun masih dalam bingkai Islam. Para ahli Islam Belanda yakni para Orientalis sering menyebut bahwa corak Keislaman Kerajaan Pajang, Mataram dan kerajaan-kerajaan penerusnya kelak adalah Islam Sinkretik, yakni corak Islam yang masih tebal dipengaruhi  kepercayaan Hindu dan Buddha. Tetapi bagi para sarjana Muslim, Islam Sinkretik atau yang kemudian lebih dikenal sebagai Islam Kejawen, adalah suatu corak Islam  yang masih terus berproses menuju corak Islam yang lebih murni, seperti yang diajarkan oleh Rasulullah saw. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar